Travel and Perspective; Mengartikan Pesan Orang-Orang Kalimantan Selatan

I’m a type of person who loves to bring a book with me every time I travel. Not only because reading is a good way to kill time while waiting my flight at the airport or sitting in a train heading to a new place, but for some people like me, both travel and reading have always been interwined. Both transport us somewhere to a new place, new perspective. Both enable us to escape our normal routines and embark on an entirely new adventure.

Ada waktu ketika merasa bosan karena rasanya semua tempat menarik di Bengkulu telah didatangi. Ada saat merasa enggan untuk pulang ketika pesona gunung-gunung dan semilir angin laut di Ternate terlalu menyihir dan satu-satunya cara paling masuk akal untuk menuruti keengganan itu adalah dengan sejenak melupakan pesona yang ada. Ada saat ketika usai mengarungi Musi di Palembang lalu kebingungan harus kemana lagi. But then, I know for sure no matter where I end up, as long as I have a good book with me, I’ll be fine. I can go pretty much anywhere I want.

IMG_E1219
Good book and travel.

Now, what if I tell you both travel and reading are both inextricably complementary. We all might agree that nothing compares to finally being able to visit a place that we’ve read about somewhere and has excited us for so long. However, what use is traveling if we just go the distance, taking good pictures for the sake of Instagram without even bother to read and learn something about the place we visit?

Seperti datang mengunjungi Kalimantan Selatan kala itu. Apa yang menarik dari kota seribu sungai ini? Besides its authentic floating market. As they also have it in Bangkok, no?

IMG_1475
Martapura river. Borneo calling.
IMG_1364
Tidak ada yang sedekat perempuan Kalsel dengan sungainya.

Ada jejak Nusantara di Afrika Timur tepatnya di Madagaskar. Jejak tersebut tampak dari kemiripan bahasa, cara bercocok tanam orang-orang di sana, arsitektur rumah, dan berbagai hal lainnya yang membuat kita bertanya-tanya, how is it possible?

Bertahun-tahun udah ada riset mengenai ini sampe akhirnya ada riset soal DNA suku-suku bahari di Indonesia yang dicocokkin dengan DNA orang-orang Madagaskar dan surprisingly yang paling cocok adalah DNA orang Banjar. Ternyata jauh sebelum orang Eropa datang ke Afrika Timur, orang-orang Banjar dari Kalimantan berlayar 7.000 kilometer nyeberang Samudera Hindia dan mengkolonisasi Madagaskar. Mereka ikut berlayar bersama pelayar-pelayar Kerajaan Sriwijaya yang sebelumnya ngebangun pos-pos dagang di Kalimantan Selatan dan berbaur dengan orang-orang dari berbagai suku di Kalimantan termasuk Dayak Manya’an dan Banjar. How did their ancestors survive the ocean at that time? Isn’t it amazing?

 

IMG_1355
Interacting with the great Banjarese descendant in Lok Baintan floating market. Familiar?

Ada orang-orang Jawa yang rela meninggalkan tanahnya melewati Amsterdam menuju Amerika Selatan, orang-orang Bugis dan Buton yang melanglang buana, berlayar ke Kepulauan Sulu hingga Negeri Pelangi, ada Minang yang merantau ke Timur Tengah dan Eropa, orang-orang Banjar yang melintasi Hindia dan diam-diam menjadi moyang penduduk Madagaskar. Berpuluh-puluh, beratus-ratus tahun yang lalu… and I guess there must be a lot of other interesting facts about our nation, about those small cities and remote places whose enchantment always got beaten by the mesmerizing Flores and Bali, if only we bother to look a lil bit closer, if we bother to read and learn a thing or two about them.

IMG_1462
Arriving at Siring floating market in the heart of the city of Banjarmasin. Took me around 3 hours to cross the river from Lok Baintan to get here.
IMG_1450
Minggu yang sibuk di Banjarmasin.

Tau apa semboyan orang-orang di Kalimantan Selatan? It says “Waja Sampai Kaputing“, which literally translates to “Strong as Steel until the End” or in Bahasa “Tetap Kuat Bagaikan Baja dari Awal sampai Akhir“. Semboyan yang menggerakkan Pangeran Antasari dan pengikut-pengikutnya untuk melawan Belanda di Perang Banjar tahun 1859. And maybe, the same motto has inspired their ancestors in some ways too as they survived the Indian Ocean and made it to East Africa.

IMG_1473
Tetap kuat bagaikan baja dari awal sampai akhir. Hail Banjarese!
IMG_1468
The mouth-watering Lontong Orari.
IMG_1486
Go somewhere where its airport you never heard of, where its roads and highways you’re not familiar with, whose local foods you didn’t know exist. Whose hotel sucks but you manage to keep bragging about. LOL.

See, traveling might get you wiser and refreshed. But, reading makes your traveling experience even more enlightening. At least, it’s for me. Dan gue berkesimpulan bahwa traveling is just traveling unless it tells you something and inspires you when you return home. Dan gak jarang apa yang menginspirasi gue datang dari apa yang gue baca atau research.

Daan… gue jadi berpikir buat jadiin blog ini bukan serta merta cuma buat nge-share traveling experience gue. Tapi, juga hal-hal menarik lain di sekitar gue yang gue sadari tanpa harus pergi ke airport dan terbang ke tempat baru. Hal-hal menginspirasi dari apa yang gue baca dan renungi (yaelah! LOL). Where I bet, there must be a lot and as eye-opening and interesting to share. What do you say?

South Kalimantan, checked✓

Sampai kita ke mana-mana lagi!

Cheers,

 

 

 

 

 

Yang Pertama dan Ke-18 di Awal 2018

Ada sekitar 42,000-an orang asing yang mendaratkan kaki di Singapura setiap harinya. Sekitar 15jutaan setiap tahunnya. But, I guess, hanya segelintir orang yang punya perasaan sedeg-degan, secampur aduk atau sesenang itu ketika landing di negara yang katanya the heart of Southeast Asia itu. Bisa jadi karena mau beli iPhone keluaran terbaru, mau ketemu pacar yang ditinggal LDR berbulan-bulan, mau migrasi karena kuliah atau kerja, atau simply karena sebelumnya belum pernah menginjakkan kaki di Singapura. Atau lebih tepatnya belum pernah keluar negeri. Kayak gue. Sad. 😦

Phew, iya. 25 tahun hidup di dunia, lulusan Hubungan Internasional, alumni organisasi pemuda terbesar di dunia, kerja di multi-national company, suka Bahasa Inggris, punya ketertarikan tersendiri soal Geografi. Dan… (gue ngetik sambil nutupin muka), belum pernah sekali pun ninggalin Indonesia.

Bukan kenapa-napa, tapi gue ngerasa hidup gue selama ini udah terlalu sering ter-exposed dengan dunia luar. I know exactly that the world is much bigger than the archipelago I’ve been exploring myself. And it’s so much more exciting than the maps I’ve been keeping in my room and it’s way more real than all those movies, and things I’ve seen in my phone screen or TV since I was a little boy. Tapi, kenapa harus menunggu selama itu untuk keluar negeri? Gue koreksi, gue malu. 😦

But, man, isn’t it there’s always a first time for everything?

Perjalanan ke Singapur sebenernya agak dadakan karena anaknya sangat idealis, sok-sokan, awalnya gak mau kalau negara luar pertama yang diinjak adalah Singapur. Terlalu gampang, terlalu ketebak. Awalnya gue mau ke Nepal. Udah research sana-sini, udah tau mau ke mana aja. Yet, plans changed. On the second thought, gue pengen ngerasain a first world country (yang infrastrukturnya beda banget sama di Indo) dan karena paspor gue masih kosongan amannya jangan ke yang jauh-jauh dulu, plus ternyata ada band favorit gue yang mau konser di sana. Well, screw Nepal. S’pore, I’m coming!

IMG_5433-iloveimg-converted
First timer nyobain kereta ke Soeta.
IMG_5461
OMG, finally! LOL!

Kalau ada yang nanya, “Cip, why on Earth did it take you so effin’ long to get your first stamp on your passport!?” The answer is supposed to be correlated with my background, my roots. Di kampung gue pergi keluar negeri atau traveling is considered “unnecessary”. Mending duitnya dipake buat hajatan 7 hari 7 malam daripada traveling (if you know what I mean). And I would say, I don’t come from a very fortunate family. Kampung gue pun terlalu terpencil (have you read my previous writing about this? LOL).  Ke mana-mana akan terlalu time-consuming, capek di jalan. Kemudian gue pergi kuliah dan asik jalan-jalan di negara sendiri.

Bosen gak sih kalau gue cerita day by day gue ngapain aja di Singapur? Well, let’s not go that way. Intinya di sana 5 hari 4 malam, gue ke berbagai tempat, mulai dari yang sangat touristy sampe yang anti-mainstream. Huge thanks to Stevenn (temen kantor yang based di sana) for hosting one of those awesome days!

IMG_5727
Welcome to Singapore! 1/195. LOL.

Here’s the thing about S’pore; you might hate it at first, but then suddenly you have every reason to love it. It is indeed the heart of Asia where you’re able to encounter all types of people. Not to mention the super high-maintained, conducive facilities and well-constructed man-made attractions, the cleanliness, the order all people there obey, the safety, etc. S’pore is the perfect epitome of a more attractive, more successful ex after you broke up with her. Malaysia must be super regretful for letting S’pore go. LOL.

Then some might say S’pore is kinda boring, it’s too small, it’s hot. It’s not challenging, unlike, uhm… Jakarta. I may agree with whoever said that. But for me, it’s not about the safety, the size of it, etc that makes S’pore boring. If there is one thing that makes S’pore boring, IMO, it’s the culture. It’s not so authentic. If the traveling is to experience culture, I’d choose Bali over S’pore or Thailand atau sekalian ke India. Orang-orang di sana pun terlalu urban dan kotanya sendiri terlalu packed sama turis. But, if you want to experience order, to have an escape from the madness and the roughness of living in a place like Jakarta, S’pore is the right destination. As an individualist, I’d definitely love to visit S’pore over and over again just to experience the “proper” city life.

IMG_5922
Every corner is instagrammable.
IMG_5915
The touristy Kampong Glam.
IMG_5891
My hotel room. Cube Boutique Capsule Hotel @ Kampong Glam.

I do enjoy rushing on my own from one MRT station to another, transforming to be somebody I’ve never been before. I like talking with some stranger over a breakfast in my capsule hotel. I like becoming an overseas tourist, speaking English in a daily basis. Bahkan beberapa kali ngomong ke orang yang mungkin juga dari Indo. But, who cares?

I enjoy just sitting on the bench looking at the whole landscape of the city. I like biking around! I like how people there understand that some are might in a hurry, so they will be standing at the left side of the escalator and giving the right side of it for others to rush. I like how it’s so well-connected and everything is on time. No crazy macet!

IMG_5720
Dhoby Ghaut station. One of the busiests.
IMG_5546
The CHIJMES church.
IMG_5536
National Library of Singapore. Heaven!
IMG_4508
Randomly took a bus to Little India. Why not try the dishes?
IMG_5553-iloveimg-converted
The famous Orchard.
IMG_5656-iloveimg-converted
Udah tau gak suka theme park. Maksain. Ya, ngapain lagi selain foto-foto. LOL
IMG_5706
Takut kemakan babi. What a safe choice. LOL. Eh, tapi food stall di Vivo City ini enak banget!
IMG_5884
Where Art Meets Science.
IMG_5826
Where Mother Nature meets city structures? Salah satu highlight ke Singapur. A must-visit!
IMG_4628
It was lit, for Merlion’s sake! Oh, take me back!

Yes, now I totally get it why people want to be a Singaporean (besides given the fact that their passport is one of the most powerful passports in the world) or choose to live there. But, I know I’m even prouder to be an Indonesian. Our country might not have the best transport system, the most beautiful buildings and bridges. But, we are the richest in terms of cultural diversity and authenticity. So many things to talk about, so many good foods to try, so many places to explore. In which made me go to tick off one more province in Sumatera; Riau Islands.

IMG_5989
Thank you, S’pore. I had a lot of fun!

January 31. Crossing to Batam Centre from Harbour Front took around an hour. I was feeling a lil bit sad, because I really enjoyed my stay in S’pore. Even I had a blast seeing Foster the People’s gig there. It was indeed the best thing happened in 2018 so far. Also, to be brutally honest, I didn’t know what I was supposed to do as soon as I reached Batam because the plan was changed in the first place. Gue harusnya berangkat sehari sebelumnya ke Batam dan nginep semalem di Nongsa Point Marina, enjoying a laid-back resort right beside the Nongsa beach. Tapi, karena ada konsernya Foster the People di tanggal 30 malam, it was cancelled. I was told that people go to Batam either to have a good cheap massage or a mistress. What? Oh, okay, berarti di Batam sebenernya gak ada apa-apa. Untuk ke Bintan, gak bakal mungkin karena gue harus balik ke Jakarta malemnya dari Hang Nadim. And I know for a fact that Riau Islands  is just another Malay-Sumateran province in the western part of Indonesia archipelago. Not much to explore indeed. But, hey, how about having a decent lunch in Nongsa and enjoy the beach view? Kalau cuma pijit di Nagoya bakalan gak seru. And I made a right decision!

IMG_6017-iloveimg-converted
Laid-back Nongsa!
IMG_6101
Such a beauty!
IMG_6116
It’s not massage in Batam that will heal one’s sore legs after too much walking in S’pore. It’s this!
IMG_6095
And this!
IMG_6148-iloveimg-converted
Sampai akhirnya pulang. A perfect holiday to end January.

Memang selalu ada yang pertama di dalam hidup, but trust me, nothing compares the first time when you’re finally able to prove to yourself that you take full control over whatever you have in your life, you decide what you want to do with your life and you pursue things that you want to achieve. Because for me, going abroad is not only about geographical proximity, it’s not only about space and time. But, it’s more about proving to myself, symbolically that I want and am able to pursue my ambitions no matter how long or far it may take me.

Gue koreksi sekali lagi. Gue bangga. 🙂

Singapore, checked✓

Riau Islands, checked✓

Sampai kita ke mana-mana lagi!

Cheers,

Mengenal Separuh Sumatera di Separuh Jalan; dari Jambe hingga Bencoolen

There’s something about being halfway that entices me. The idea that nobody can’t tell whether you’re up for it or not, whether you like it or not. Whether you’re putting 100% effort into it or you’re just stuck to get going. That the chance is equally divided. The 50:50 chance of winning.

Kayak misalnya lo ngasih segelas minuman hasil racikan lo ke seseorang yang datang bertamu ke rumah lo dan sebelum pergi dia nyisain exactly separuh isi dari minuman itu. It will be so hard to guess whether he liked the drink you made or not. Bisa aja dia suka tapi dia lupa ngabisin minuman itu saking serunya ngobrol sama lo dan keburu pergi. Atau dia nggak suka tapi dia menghargai apa yang udah disuguhi tuan rumah makanya disisain separuh. Beda halnya ketika dia hanya meminum seperempatnya atau justru ngabisin segelas penuh.

Atau kayak lo trekking ke suatu tempat yang jauh. Di tengah perjalanan terbesit di pikiran lo untuk balik aja saking jauhnya tempat itu dan lo udah secapek itu. Lo mikir mumpung masih separuh perjalanan that it won’t hurt to go back. Tapi, at the same time, lo juga mikir sayang banget udah separuh jalan dan lo malah mutusin buat balik.

Hubungannya sama gue? It lies upon the million dollar question. Dengan meniadakan kemungkinan jumlah provinsi di Indonesia bakal nambah dalam waktu dekat (karena nantinya akan lain cerita), will or will not Ciptadi Putra visit all the provinces in Indonesia?

Kalau gue bilang gue udah separuh jalan as I just ticked off the province number 17 a couple of days ago. Yeah, 17 out of 34. Menurut lo kemungkinannya seperti apa? Mungkin kah gue abis ini merasa jenuh dan malah memutuskan buat traveling abroad aja. Atau dengan lancarnya, 5 tahun dari sekarang semua provinsi itu bakalan kecentang semua? Atau gue nanti akan stuck di provinsi ke-22, ke-28, atau ke-33. Or did I ever enjoy the trip? Will I make it? No one knows yet the chance is equally divided. That’s being halfway. The 50:50 chance of winning. Isn’t it enticing?

Makanya gue seneng banget udah separuh jalan. Hahaha. Dan menurut gue, keliling Indonesia pun cuma ada 50:50 kemungkinan. Bukan antara lo bakal suka atau enggak, tapi antara lo bakal suka atau suka banget. Kayak trip gue ke Jambi, provinsi ke-16. It didn’t cross my mind that I would like Jambi quite a lot (though I’m talking about 2d1n stay) as I thought this province with a mixture of Malay, Minang and other typical tribes in Sumatera would not be so distinctive and exciting to explore. But, the fact told different story.

Sama halnya dengan bayangan gue tentang Bengkulu, provinsi ke-17 yang menandai separuh perjalanan gue jalan-jalan keliling Indonesia dan yang ke-5 di antara 10 provinsi yang ada di Sumatera yang sudah gue datengin. Kota di pinggir pantai, hotel dengan view laut, orang-orang Melayu yang terkenal ramah. Tapi, ternyata kenyataaanya agak sedikit berbeda.

IMG_2977
Buku yang menemani traveling kala itu.
Perjalanan dengan pesawat dari Jakarta ke Jambi ditempuh kira-kira 1 jam lebih. Surprisingly Bandara Sultan Thaha di Jambi walaupun kecil tapi sangat menyenangkan (talking about the interior and facility). Dari bandara ke hotel gue naik GoCar. Praise the guy at GoJek who expanded its reach to Jambi! Walaupun harus jalan dikit keluar bandara buat nyamperin bapaknya. You know, online taxi-conventional taxi drama.
IMG_2982
Katanya bagus karena masih baru. Jambi, the 16th, wo-ahey!

Selain muka Zumi Zola di mana-mana, selama perjalanan ke hotel, there was nothing much to see. Terlintas di pikiran gue, “Here comes the anti-mainstream destination.” Kalau kata temen gue yang udah pernah ke sana, seconded by someone yang bahkan orang Jambi sendiri, “Ngapain ke Jambi, di sana gak ada apa-apa.” Oh well, let’s just stick to the plan. Sumatera adalah pulau dengan paling banyak provinsi, dan Sumatera adalah pulau paling dekat dengan Jakarta, domisili gue. And if I’m committed enough to the plan, visiting Jambi and later Bengkulu would make perfect sense.

Oh, nggak, Jambi nggak se-‘nggak ada apa-apanya’ itu kok. Bapaknya sengaja ngelewatin jalan kampung, menghindari jalan kota, karena gak mau terjebak macet. Oke, satu hal yang agak ganggu kalau ada orang di daerah yang ngeluh soal macet di kotanya dia. Like seriously, how bad is bad traffic di daerah? Pardon me Sir, have you ever been stuck in Jakarta traffic for nearly 3 hours that the car could barely move? Tende-an(believable), Simatu-(punked), Anta-(sucks)-ri, dll. LOL. Soalnya gue juga pernah di Palembang, sopirnya mengeluh hal yang sama like it was a very big deal yet I reckoned it was nothing compared to Jakarta traffic. Well, lets just put it this way, “If you can make it in Jakarta (bukan NYC!), you can make it anywhere else.” Hahaha.

Untunglah setibanya di hotel, it was so laid-back. It profoundly met my expectation, I guess. Gue sengaja milih hotel ini karena hasil research gue emang laid back banget. Walaupun posisinya bukan di tengah kota, but that was the point to somehow escape the hustle and bustle of city life, right? Rumah Kito Resort, interior reception hall-nya keren banget, the swimming pool, the receptionist was one of the kindest I’ve ever met, dia meng-upgrade kamar gue yang tadinya Superior ke Deluxe! The room service was top notch, entah karena laper atau apa, they have the best ayam kremes ever! Setelah check-in, makan, dan mandi, gue langsung menuju ke Candi Muaro Jambi. Let’s learn a piece of history a lil bit.

IMG_3068
I’m glad I forgot Swiss-Bel, Aston, and other too popular hotels, and checked-in to this hotel instead.
IMG_3090
The majestic reception hall.

Jambi gak se-boring itu kok, if you bother to have a look deeper. Kayak asal usul namanya yang punya banyak versi. Ada yang bilang berasal dari kata ‘jambe’, Bahasa Jawa yang berarti ‘pinang’,  entah dari nama seorang putri kerajaan atau karena banyaknya pohon pinang yang tumbuh di sekitar sungai Batanghari. And if you bother to go extra miles (28KM saja dari pusat kota) to Candi Muara Jambi, you may learn that Jambi was actually the heart of Sriwijaya (not Palembang) and Malay kingdoms. It might not be the site with most fascinating temples but it’s the largest Buddhist temple complex in Southeast Asia.

IMG_3056
Berarti Palembang dan Jambi dulunya satu? *keliling sambil mikir.
Kalau ke Jambi you can’t miss crossing over Batanghari river, the longest river in Sumatera through the pedestrian bridge, Gentala Arasy. Pergi ke sana menjelang malam, so you can see the sun peeked through the river and the lights at night. Believe me, it was breathtaking. Jangan lupa mampir di restonya hotel Infinity yang berada di seberang mall deket jembatan. The food is good and you can see the city view overlooking the river and the bridge from above.
IMG_3048
Konon katanya emas Kerajaan Sriwijaya disebar di sepanjang sungai ini. Dikasih nama Svarnadvipa bukan tanpa alasan.
IMG_3023
Ampera di Palembang mungkin lebih populer, tapi jembatan ini paling menyenangkan. Any vehicle is not allowed to cross, just human.
Setelah bermalam di Jambi, gue nerusin perjalan ke Bengkulu dengan pesawat kecil yang hanya ada segelinitir penumpang plus awak kabin di dalamnya. All right, again heading to unpopular destination, no? Tapi, gue tetep se-excited itu. I believe when you do traveling, it’s not merely about places, it’s also about feelings that we have and our state of mind that make the difference. Intinya, don’t take things for granted because you never know what’s waiting for you down the road.
Untitled
Selamat datang di Bengkulu. Sekarang sudah separuh! 5/10, 17/34.
Well, Bengkulu or Bencoolen as what the British called it in the past, turned out nggak semeriah Jambi. At first I thought it would be the other way around. Bengkulu kotanya kayak kota lama, kurang terawat. Meskipun di pinggir pantai, but to be honest, the beach is so-so. And it’s too windy. Dan beberapa orang yang gue temuin agak kurang ramah. Still liked the visit though. Why? Karena sebenarnya tujuan utama ke Bengkulu adalah buat nyaksiin lebih dekat drama percintaan one of our beloved founding fathers; Bung Karno. And of course, Bengkulu cannot be separated from Rafflesia Arnoldi that I would like to take a pic of it. Tapi sayang, setelah ngehubungin orang yang suka nganter turis ngeliat bunga langka ini, ternyata bunganya belum mekar. Bunganya baru akan mekar sekitar bulan Januari-Februari.
IMG_3106
After taking a 70K conventional taxi from the airport, my eyes got soothed by the hotel view.
Gue nginep di Grage Horizon Hotel, hotel yang harganya mahal just because it’s the only hotel in Bengkulu with the Pantai Panjang beach view. Tapi, other than that; the style, the food, even the amenities (wkwk) didn’t comfort me really well. The thing is harga hotel ini kurang lebih sama dengan harga hotel yang di Jambi. Hahaha.

Abis ribet-ribetan di hotel, gue langsung order GrabBike dan menuju tourist attraction pertama gue di Bengkulu; Benteng Marlborough. The must visit fort, as it was one of the strongest British forts in the eastern part of Asia. Dan dari benteng ini, you can actually sum up the whole view of Bengkulu; the fort itself, the Rafflesia Arnoldi monument nearby and the beach. Kalau ke sini, saran gue pake jaket karena anginnya gak nyantai.

Banyak orang yang ke sini, entah mereka turis dari mana yang melakukan hal yang sama dengan yang gue lakuin atau cuma warga lokal yang nyari angin. Di area benteng ada bangunan yang dalemnya surprisingly bagus, memuat berbagai penjelasan soal sejarah Bengkulu, kedatangan Bangsa Eropa, keluarga Sir Stamford Raffles, sampe pengasingan Bung Karno di Bengkulu.

IMG_3134
Gerbang utama benteng.
IMG_3117
The guy yang sering kesebut namanya di RPAL jaman SD.

Gak jauh dari benteng ada area pecinan yang menarik perhatian gue. Banyak orang-orang yang mampir sekedar foto-foto, bahkan ada sekumpulan orang yang sengaja dandan dan dress up lengkap dengan fotografer profesional. Mungkin buat buku tahunan. Dari situ, gue order GrabBike ke Pantai Panjang. Ah, ojek/taksi online ini kalau pas lagi traveling ke daerah-daerah ya, it’s so convenient. Malemnya gue makan seafood at one of the finest seafood restaurants in Bengkulu; Kampung Pesisir. Mereka gak jual porsi perorangan, but I guess, the thing about a seaside city is that you can’t miss their fully-recommended seafood restaurant. No matter how much of a portion they’re selling. Jadinya food comma sama seafood malem itu. LOL.

IMG_3131
Pecinan di Bengkulu. The only city view that peeked my interest.
IMG_3141
Panjang karena sejauh mata memandang pantai semua.
IMG_3139
Naik delman istimewa! 30K dari ujung ke ujung (not literally ujung tho).
IMG_3129
No, it’s not a summery beach you had in mind. I should have wore my jacket. Too windy.
IMG_3285
Believe it or not, I finished them all. Alone.

Hari kedua setelah sarapan, gue langsung ke tujuan utama gue di Bengkulu; Rumah Kediaman Bung Karno Semasa Pengasingan. Jarak dari hotel ke sini deket banget. Harusnya bisa jalan kaki, tapi karena ujan jadinya naik GrabCar.

Selain di Bengkulu, Bung Karno pernah diasingkan oleh Belanda ke beberapa tempat lain di Indonesia kayak Bandung, Ende, Padang, dan Muntok. Tujuan Belanda mengasingkan Bung Karno buat memenjarakan dan mematahkan semangat juang Bung Karno, but the thing is that the Dutch didn’t take into account that fact of being exiled to many parts of Indonesia would just resulted in him knowing and loving Indonesia even more. Bukannya malah patah semangat, Bung Karno malah banyak belajar soal budaya Indonesia dan makin semangat untuk segera memerdekakannya.

Pengasingan di Bengkulu salah satu yang paling fenomenal karena di sini Bung Karno bertemu Ibu Fatmawati. The first lady yang ngejahit bendera Indonesia pertama. The thing that tickled me was how they met, the romantic pick-up lines khas Bung Karno yang bikin Bu Fat klepek-klepek, and the love drama that went on and on after meeting Bu Fat.

IMG_3188
Saksi bisu drama percintaan Bung Karno.

As our founding father, I adore Bung Karno a lot. But, when it comes to love life, many might hate him. Pramugari Garuda cantik yang sekampung dan semarga dengan nyokap gue pun gak luput dari cengkraman Sang Don Juan. Hahaha. But yes, it’s in the nature of men, to adore more than one woman. Apalagi jaman dulu where men tend to have more power than women. Pasti banyak Bung Karno-Bung Karno lain, yang bahkan istrinya lebih dari 9. Tapi, ada 1 wanita yang gak bisa ditaklukin Bung Karno; Gusti Nurul, a fine lady from Solo. Terlalu pinter. So, actually, both man and woman take part. It takes two to tango, right?

Untitled
Foto Sang Don Juan, yang katanya Bapak Gemini Indonesia di ruang tamu utama.
IMG_3190
Bung Karno pasti jago banget bikin surat cinta.
Jangan lupa buat sekalian ke rumah kediaman Bu Fat dan sebuah danau yang gak jauh dari pusat kota. Just a regular lake in town, yet the name makes me wonder if it was given by one of Bung Karno’s wives.
IMG_3177
Rumah Kediaman Fatmawati. Semua istri Bung Karno menjalani nasib yang sama. Tapi, satu hal yang membedakan; hanya ada satu Ibu Negara.
IMG_3205
Danau Dendam Tak Sudah. Yes, you read it right. 🙂
IMG_3218
Sampai akhirnya pulang.

Dari sini, you can tell kalau gue selalu tertarik sama nilai-nilai kedaerahan, budaya, adat istiadat, no matter how superstitious it may sound, yang ada di suatu daerah di Indonesia. And moreover I’m forever a big fan of the concept of Indonesia as one nation, as NKRI. Nowhere else in the world you can find a concept of nationalism as strong, as powerful as Indonesia has. Well, I might be one of those liberals, but for me the ‘Bhineka Tunggal Ika’, the foundation of this nation is just mind-blowing. It unites the diversity from Aceh to Papua in the best way possible.

Let me put it this way, masyarakat Bolaang Mongondow di pelosok selatan Sulawesi Utara ngomongnya Bahasa Mongondow, orang Dayak Bakumpai di Kalimantan Tengah gak langsung bisa ngomong Bahasa Indonesia. Orang Papua pun gak semudah itu bisa me-relate Kartini dengan diri mereka dan menganggap beliau pahlawan semudah orang Jawa. That’s just how great the concept of NKRI is! Konsep Bahasa Nasional, konsep Pahlawan Nasional, and so on, yang buat tadinya beda-beda jadi punya satu identitas.

And if you want to get to know more about Indonesia, if you aim to travel across the nation, please bear in mind that Indonesia is not only the beloved, spoiled children, Java; it’s not only the well-known, most admired Bali, and the mesmerizing Nusa Tenggara. It’s Jambi, Bengkulu, and all other unpopular destinations that people can ever think of. Dan gue sungguh senang sudah separuh jalan. 🙂

Jambi, checked ✓
Bengkulu, checked ✓

Sampai kita ke mana-mana lagi!

Cheers,

Oases of Calm in the Concrete Jungle of Jakarta

There are several types of people when it comes to playing tourist or traveling. Those who always seek beaches, mountains, and other interesting natural sight-seeings and attractions. Those who much prefer city landscape and man-made attractions and tours. And there are some people who constantly torn between those two.

Gue termasuk tipe terakhir. Kalo ke satu tempat baru, gue gak bisa disuruh milih satu di antara cuman nikmatin alamnya yang bagus atau galeri seni dan museum yang menarik lengkap dengan cerita budaya dan sejarah tempat itu. Gue harus bisa pergi ke kedua-duanya. LOL. Nah, kalo di kota kayak Jakarta, tentu buat menikmati alam pilihannya terbatas banget (palingan ke Kepulauan Seribu atau hutan mangrove di PIK). It’s not New York City that is surrounded by three rivers and the Atlantic Ocean. It’s not Davos or other breathtakingly beautiful towns in the Alps. Bukan pula Ternate yang ada di kaki gunung dan dikelilingi pulau-pulau.

Jadi, kalau di Jakarta, kalo mau maen atau mau PDKT sama seseorang, atau mau pacaran, ya paling ke mana? Please, burn all the malls down for me (sisain GI karena ada GIK dan PP karena @america-nya, tapi, hahaha!) Well, ada banyak banget sebenernya tempat menarik di Jakarta yang bisa didatengin pas liburan atau weekend selain mall. Especially for those who like to do gallery or museum hopping, ada beberapa galeri seni dan museum di Jakarta yang buat gue wajib didatengin. Gue sendiri bukan yang ngerti-ngerti banget seni, gue gak kuliah seni (I’m not being artsy-fartsy here). But I guess, art is something that we don’t really need to understand. It’s not made to validate our opinion. It just needs to make us feel something. And, I believe art is not an exclusive possession nor does it belong to only certain group of community. Dan di kota semetropolitan ini, what else is our escape?

Kalau mau gallery/museum hopping, as I like to call it, gue selalu ngecek dulu barang atau koleksi semacam apa yang mau dipamerin sama tim kuratornya, lokasinya, dan yang menurut gue gak kalah penting; tata pameran dan interiornya. Syukur-syukur kalau ada guide yang friendly dan knowledgeable sama barang-barang pameran/koleksi. Ah, pasti akan seru banget! Okay, without further ado, here’s my list, the most unique ones:

1. Museum Nasional Indonesia (Museum Gajah)

Kenapa dikasih nama museum gajah coba? Karena katanya pernah ada Raja Siam (sekarang Thailand) yang datang ke museum ini dan terkesan sama koleksi yang ada sampe-sampe dia ngehadiahin patung gajah entah ke pengurus museum atau ke pemerintah Batavia (saat itu), trus patungnya ditaruh di depan museum. Kalo menurut gue sih itu taktik politiknya Thailand aja. Lah, masa Museum Nasional terus disebut museum gajah, ikon yang justru melekat sama negara orang? (Being realis bin suudzan, hahaha). Isinya barang-barang dari berbagai jaman di Indonesia. Yang paling menarik dari museum ini sih taman arcanya. Sama kalau lo lagi beruntung, suka ada pameran-pameran seni menarik gitu di dalam museum.

Urgensi kunjungan: Sebaiknya direncanakan

HTM: Rp5,000

Web: https://www.museumnasional.or.id

Museum_Nasional_Indonesia.jpg
Patung gajah sang pemberian Raja yang tepat berada di tengah-tengah halaman depan museum.
taman-patung
Taman Arca yang Instagrammable.

2. Galeri Nasional Indonesia

Disebut galeri karena isinya 98% barang pameran, bukan koleksi. I’m being sotoy about the percentage, but you know what I’m saying, right? LOL. Ini galeri yang gak jauh dari Museum Nasional (depan stasiun Gambir), jadi pas banget kalau lagi ke sana bisa main ke sini juga. Isinya tergantung lagi ada acara apa (tiap hari pasti ada acara), walaupun ada pameran tetapnya juga. Bangunannya pun cukup luas dan biasanya semua kepake buat pameran. Jadi, bisa puas liat-liat. Sangat disarankan untuk ngecek agenda di web-nya dulu sebelum ke sini.

Urgensi kunjungan: Sebaiknya direncanakan

No HTM

Web: http://galeri-nasional.or.id

IMG_2296.png
Hall bangunan utama Galeri Nasional.
IMG_2299.png
Kalau lagi beruntung, barang-barang pamerannya bisa sekeren ini.

3. Museum Taman Prasasti

Masih di pusat Jakarta. Ini dulunya area pemakaman jaman kolonial. Dulunya karena emang gak ada jenazahnya (udah dipindahin). Isinya gravestone dan patung-patung khas pemakaman Bangsa Eropa. Sejumlah orang penting jaman dulu pernah dimakamin di sini dan yang paling terkenal adalah aktivis jaman Soeharto dulu, Soe Hok Gie. Di sini juga ada peti asli dari Presiden Soekarno dan Wakilnya, Bung Hatta.

Not much to see, kecuali lo fans-nya Gie, but for me, I like the praying angel statues spread all over this area. They’re worth my camera.

Urgensi kunjungan: Kalau pas lagi main ke daerah pusat

HTM: Rp5,000

No Web

DSCN3372
The last place to be checked!
DSCN3322
“Nobody knows the troubles I see. Nobody knows my sorrow.” – Gie

4. Tugu Kuntskring Paleis (Gallery & Shop)

Tempat yang seru banget buat gallery hopping! Karena tempat ini ada restonya juga dan ambience-nya yang kental banget sama jaman kolonial. Dulu emang dibangun sama Belanda sebagai galeri seni yang mamerin kesenian Bangsa Eropa dan Hindia-Belanda. Abis itu sempat jadi Kantor Imigrasi Jakarta Pusat dan sekarang jadi galeri seni dan resto di bawah naungan manajemen Tugu Hotels (jejaringnya Hotel Tugu di Malang!).

Pas masuk ke dalem langsung ke area resto, kesannya kuno tapi mewah. Secara keseluruhan konsepnya memadukan antara gaya Eropa, Tiongkok dan Jawa di jaman kolonial. Gue bener-bener amazed dan berasa masuk ke mesin waktu. Galeri seninya sendiri ada di ruangan terpisah. Pengaturannya apik banget, gak usah ditanya. Oh ya, makannya sendiri fine dining, so be prepared dengan harga makanan dan minumannya yang mahal. Tapi, dijamin sepadan dengan rasa dan pengalaman main ke sininya. Sayang banget gue gak bisa eksplor lantai 2-nya waktu itu, soalnya di-book buat acara apa gitu dan gak diijinin naik. So, I guess, I will come back!

Urgensi kunjungan: Immediately!

Meal: Approx. Rp200,000 per pax

Web: https://www.tuguhotels.com/restaurants/jakarta/kunstkring/

Tugu-Kunstkring-Paleis
Bangunan tampak depan. Isn’t cool?
IMG_2232.png
Nyari barang antik kayak apa, Mas? Kayak cinta yang tak bertepuk sebelah tangan? LOL.

5. Art1: Gallery Jakarta

Well, well, galeri ini sangat kontemporer dan emang keren sih. Terdiri dari art space dan museum. Buat foto-foto oke. Tapi, gak tau ya, am I the only one yang abis ke sini trus gak pengen balik lagi? Yang penting udah pernah sekali ke sini, that’s it. Beda feeling-nya pas gue ke Semarang Contemporary Art Gallery.  Apa mungkin karena mood gue saat itu atau karena pas gue ke situ barang yang dipamerin lagi kurang asik, atau… karena lokasinya juga yang agak jauh dari tempat gue (di daerah Gunung Sahari, Kemayoran)? Hahaha.

Urgensi kunjungan: Kapan aja sebisanya

HTM: Gue lupa, pokoknya merasa agak gak worth it

Web: http://www.mondecor.com

IMG_7999
Keren kan?
IMG_8012
Keren kok. But, sometimes a place leaves different impression to each one of us.

6. Museum-Museum di Kota Tua

Karena sekomplek, museum ini bisa langsung dibabat sekali hopping. Ada Museum Fatahillah, Museum Wayang, Museum Seni Rupa dan Keramik, Museum Bank Indonesia, sama Museum Bank Mandiri. Did I miss something? Yang ini semua orang juga pasti udah pernah ya, gak perlu diterangin panjang lebar. Walaupun begitu ini tempat selalu masuk ke list gue kalau mau ngajak main temen atau sodara dari kampung yang pengen jalan-jalan di Jakarta. Paling suka setelah museum hopping di komplek ini, mampir ke Cafe Batavia yang jadul dan menyenangkan.

Urgensi kunjungan: Sebaiknya direncanakan

HTM: Rp5,000-Rp20,000

Web: http://www.cafebatavia.com

IMG_2298
Kota Tua dari lantai 2 Museum Fatahillah.
IMG_2297.png
Bangunan Museum Bank Indonesia.

7. Duta Fine Art Gallery

Sekarang kita ke bagian selatan Jakarta, tepatnya di daerah Kemang. Ini salah satu galeri seni yang bagus banget di Kemang menurut gue. Oh, ya, please note kalau di Kemang emang banyak yang menggunakan istilah galeri seni, tapi sebenernya mereka tuh art space yang pamerannya gak tetap (occasional) dan banyak juga yang isinya lebih ke buat jualan  atau simply, toko barang seni, and you won’t find much there kalo sekedar gallery hopping.

At the front yard, you’ll be psyched by the building with arches and seamless Mediterranean pattern and curves. And then when you enter the open space in the center, the building and the ambience is actually Andalusian-Hacienda style, lengkap dengan air mancur dan pepohonan. Bagus banget kayaknya buat jadi spot baca buku sore-sore. Di dalamnya mostly lukisan dan sebagian besar kayaknya buat dijual. Yep, alasan utama ke sini tuh karena bangunan dan ambience-nya sih. Dijamin lo bakal ngerasa ada di suatu desa di Spanyol, bukan di Jakarta.

Urgensi kunjungan: Sebaiknya direncanakan

No HTM

No Web

IMG_2301.PNG
Percaya ini di Kemang?
IMG_2302.PNG
Pintu masuk ke galerinya.

8. Museum di Tengah Kebun

Terfavorit yang pernah gue datengin! Literally di tengah kebun! The building size is 700m on a 3500m land lot. Awalnya lo mungkin gak akan notice kalau di jalan yang cukup sempit di Kemang, ada museum segede dan sekeren ini. Until you enter the gate, you’ll be surprised by the long yard and the paving that leads you to the main building. Masuknya harus by appointment, minimal 7 orang kalo gak salah. Waktu itu gue sotoy mau on the spot berdua doang sama temen, tapi untungnya yang jaga baik dan lagi ada rombongan dari luar daerah. Jadi, gue sama temen gue disuruh gabung sama itu rombongan.

It’s a private museum with 4K something relics and antiques, self-collected by a 73 year old man. Modelnya sendiri rumah gitu, ada ruang tamu, ruang makan, kamar, dll.  Uniknya setiap ruangan punya nama sesuai dengan barang antik favorit apa yang dipajang di situ. Yang punya, Pak Syahrial Djalil, seorang pengusaha sukses di bidang advertising dan sering keluar negeri ngumpulin barang antik. Beliau gak berkeluarga. Sekarang udah sakit-sakitan dan pas tour ke kamar dan kamar mandi utama (milik Pak Syahrial), beliau lagi terbaring di ranjang, istirahat tidur siang. Kita tetep dibolehin masuk cuman harus nge-skip kamarnya dan langsung masuk ke kamar mandi. He has a huugee bathroom! Dan beliau ngumpulin koin juga dari berbagai negara ternyata yang ditaruh di kamar mandi ini! Kata yang nge-guide kalau ke sininya agak pagian ketika Pak Syahrial gak di kamar atau lagi makan siang, kita harusnya bisa berlama-lama di kamar utama dan kalau memungkinkan bisa berinteraksi sama Pak Syahrialnya.

The collection is varied, and gained from inside the country and from other 26 countries (if I’m not mistaken); statues from Majapahit Empire, ancient ceramics from Han Dynasty, stuff associated with Wilhelm, a German Emperor, the best sajadah ever made from Turkey, and soo on. Yang bikin gue seneng juga, guide-nya di sini ramah dan sangat knowledgeable.

For the record, ada satu barang paling favorit Pak Syahrial; arca Dewa Wisnu yang ditemuin di satu daerah di Jawa Tengah. Paling favorit karena ngedapetinnya harus ngebangun sekolah dulu didaerah itu buat bisa “ngebeli” arcanya dari warga. Banyak cerita menarik lain tentang museum ini dan koleksinya. Lo gak akan heran kalau museum ini pernah dapet penghargaan museum swasta terbaik di Indonesia. Sangat recommended, you seriously need to cancel all your agenda for the upcoming weekend and visit this museum instead! LOL.

Urgensi kunjungan: Immediately!

No HTM

No Web

DSCN2262
Museum + kebun? Museum di Tengah Kebun. Dari namanya aja udah unik.
DSCN2312
Mikirin gimana caranya biar bisa bangun rumah kayak begini.

9. Gudang Gudang

Sebenernya ini yoga studio sih, tapi ada galerinya juga. Kalau gak salah yang punya Anjasmara. Nah, galerinya ini walaupun kecil menurut gue berkesan banget. Ambience tempatnya bikin berasa ada di Ubud. And of course they have beautiful paintings for you to enjoy.  Worth a visit kalau emang lagi main di daerah Kemang.

Urgensi kunjungan: Kalau pas lagi main ke daerah selatan

No HTM

No Web

IMG_2291.png
Pengaturannya unik.
IMG_2292.png
One of my favorite paintings here.

10. Hadiprana Art Centre

Masih di daerah Kemang. Ini art center buat anak-anak dan keluarga sih sebenernya. Kayak art school gitu lah. Kalau memang lagi hopping di daerah Kemang, gak ada salahnya ke sini. Ada beberapa lukisan koleksi mereka yang bagus dan unik banget. Unique because they’re fantastical and playful, sesuai dengan fungsi Hadiprana sendiri. Sama ada satu cafe di dalam yang interiornya keren banget.

Urgensi kunjungan: Kalau pas lagi main ke daerah selatan

Meal: Approx. Rp100,000 per pax

Web: https://www.hadiprana-artcentre.com

DSCN1240
Lukisan-lukisannya unik dan keren. My favorite yang ada di tengah!
DSCN1251
Café Mitra yang interiornya super keren!

11. Gudang Gambar

Koleksi mereka gue liat di ArtJakarta PP waktu itu dan gue amazed banget. Ini sebenernya bukan galeri seni sih, tapi lebih ke toko lukisan. Yet they’re open for public. So, do not hesitate to stop by if you happen to pass Jalan Antasari, Cipete yang sering macet itu. Don’t worry, the men keeping the shop, they’re some of the friendliest ones I met. Posisinya ada di pinggir jalan pas, next to a coffee shop. Dari depan lo bisa ngeliat bentuk bangunanannya yang unik. When you get in, you’ll drop your jaw as the collection is second to none, hanging and beautifully arranged all over the place. So neat, and so serene. Lo akan langsung kepikiran buat foto-foto. Di lantai 2, masih ada lukisan-lukisan dan ada semacam office-nya, sama ada gudang penyimpanan. Ngebetahin banget you wish that they had a coffee shop inside for you to stay longer. Karena gak beli, jadi gak enak kan kalo lama-lama, apalagi banyak nanya. LOL!

Urgensi kunjungan: Kalau lagi main di daerah selatan

No HTM

Web: http://gudanggambar.net

 

DSCN3268
Bangunan unik yang noticeable banget kalo ngelewatin Jl. Antasari.
DSCN3293
Really is an oasis in the middle of busy, jammed Antasari.

It’s a wrap! Kalau ditanya yang bikin gue suka ke tempat-tempat kayak gini, selain barang seninya, ya. Pertama, karena di kota kayak Jakarta gini, hidup udah sumpek banget. The hustle and bustle will not compromise, so every once in awhile, you do need a short escape (art galleries) to clear your mind. Untuk ke mall rasanya udah terlalu bosen. Kedua, di kota semetropolis ini, hidup itu terlalu dinamis. Time never stopped ticking, feelings faded, energy fluctuated, interests changed, people come and go. And visiting places like these (museums) make me believe that some things in life may live forever.

Sampai kita ke mana-mana lagi!

Cheers,

Pulang Kampung Selalu Benar, Main ke Kampung Orang itu Belajar

Buat gue mau pulang ke kampung halaman, ke daerah terpencil yang bahkan banyak orang gak tau itu somehow festive, no matter what the moment is. Ada beberapa alasan. Pertama, gue suka gak ngabarin kalau mau pulang. Hahaha. Ceritanya surprise. Mungkin gue ngasih clue ke orang rumah, tapi gue gak akan nge-share tanggal pasti kepulangan gue. Dari jaman gue SMA di seberang provinsi, ini udah gue lakuin. Ada kebahagiaan tersendiri ketika ngeliat nyokap gue kaget (secara beliau yang biasanya paling histeris) karena anak bungsunya tiba-tiba hadir di depan mata. Well, basically I do like surprises. Jadi, untuk mikirin ini, bahwa gue akan ngasih surprise ke orang-orang yang gue sayang, udah exciting banget buat gue.

DSCN2868
Bisa senyum-senyum sendiri sambil liat awan di pesawat ngebayangin ekspresi nyokap nanti.

Kedua, karena kampung gue itu jauh banget dan terpencil. Saking terpencilnya kampung gue, lo harus ngambil flight pagi-pagi buta dari Jakarta biar lo at least bisa nyampe rumah Maghrib. Karena jauh dan terpencil ini, lo pulang kampungnya gak sama kayak mereka yang kampungnya di Surabaya dan kerjanya di Jakarta misalnya. Lo akan pulang setahun sekali dan lo butuh at least seminggu off biar puas. Terus karena lo pulangnya setahun sekali, rasa kangen lo sama rumah, sama suasana kampung halaman akan semenumpuk itu.

IMG_1780
Kampung halaman tercinta. Gak macet, gak antri, gak ada ojek (online). Haha.

Terakhir, akan ada banyak hal yang lo persiapkan. Book tiket, packing (ya, iya lah ya!), jodoh? Hahaha. No, I mean (selain trip-nya sendiri), something buat orang rumah; entah kue, jajanan, atau baju, anything nice, sesuai budget gue saat itu. Dan kalo misalnya gue ngasih clue ke orang rumah gue akan pulang, gue akan dihebohkan dengan berbagai macam titipan (mostly dari kakak sama nyokap) yang sering kali adanya di ITC Kuningan, Ambas, Tanah Abang, etc. But, I love this kinda preparation tho.

Talking about pulang kampung. Belum sebulan ini gue pulang kampung. Dan ada hal lain yang bikin gue excited selain ngasih surprise dan bertemu orang rumah, dan gue jadi tersadar akan satu hal yang menurut gue esensial. Kalau pada dasarnya kampung gue itu gak akan pernah berubah. Dari jaman udah ditinggalin sejak SMA sampe gue kerja, mau gue tinggalin setahun, dua tahun, enam bulan, kampung gue, ya kampung gue. Nothing will ever separate you from your hometown. It’s not something that you can change. Satu-satunya hal yang berubah adalah diri lo sendiri. Cara pandang lo akan hidup, wawasan lo, and this is what matters.

Mungkin, akan ada aja orang yang suka ngeremehin atau ngebecandain kampung lo yang sangat terpencil, asal usul lo yang gak lo pilih in the first place. Tapi, mereka gak tau kalau lo gak kampungan, you have seen things enough. And I, myself, never do I ever feel less or inferior because of my own roots. Gue bahkan bangga sama suku dan asal gue. Because I believe what should define a person is not their roots or where they come from, but simply how they see things.

Makanya ada hal lebih yang juga gue persiapkan pas pulang kampung pertengahan bulan lalu itu. Gue pengen melihat lebih banyak lagi. 🙂

Dengan pertimbangan mumpung gue lagi pulang dan jarak yang gak jauh dari Manado, gue mutusin buat ke Ternate, Maluku Utara, nyentang provinsi ke-15 dulu sebelum balik ke Jakarta. Karena cuma ada 4 provinsi di Indonesia dengan zona Waktu Indonesia Timur; Maluku Utara, Maluku, Papua Barat dan Papua. Setidaknya gue udah pernah ke salah satu. 🙂

DSCN2878
Beberapa saat pesawat sebelum mendarat di Ternate dari Manado.

Gue tiba di Bandara Sultan Babullah setelah kurang lebih sejam di atas pesawat. Cuaca agak hujan, gak heran karena selama gue di Kotamobagu, kampung gue, dari siang ke sore biasanya emang selalu hujan. Ini sebenernya yang gue takutin; hujan, karena sesuai rencana, gue hanya akan ngabisin 2 hari 1 malam di Ternate dan ke mana ke mananya gue akan keliling naik motor sewaan. But, I think the universe, again conspired to help me. Setelah gue dapet taksi (mobil carteran, Rp150K) di bandara dan jalan menuju hotel, langit tiba-tiba cerah. Walaupun sebelumnya gue sempat drama dulu dengan petugas bagasinya Garuda karena tas gue ketuker sama tas orang lain. Pffft. First time in my lyfe. Hari selanjutnya pun cerah. 🙂

Gue nginep di Grand Dafam Bela Ternate, yang menurut sopir taksinya hotel paling gede yang ada di Ternate. Menurut research gue pun, hotel seharga Rp700K-an ini udah yang paling bagus. Pas nyampe hotel gue langsung check in, makan, mandi dan minta petugas hotel buat nyiapin motor sewaan gue (Rp150K per hari). Oh ya, gue kebingungan makan apa dan di mana di Ternate, karena kulinernya sebenernya gak jauh beda sama Manado sementara gue udah puas makan masakan Manado selama gue pulang kampung. Jadinya selama di Ternate gue makannya di hotel mulu.

DSCN2970
Hotelnya recommended. 🙂
DSCN3148
Makan siang di hotel dengan menu makanan tradisional. All you can eat, only 50K. Tapi, see, semuanya ada di Manado.

Tujuan pertama gue adalah Danau Ngade atau Danau Laguna Ngade, karena menurut research posisi danau ini deket sama hotel. Yes, kali ini gue sangat well-researched! Hahaha. Anyway, Kota Ternate tuh cuma mengelilingi Gunung Gamalama, spot-spot menariknya gampang, apalagi kalau kita naik motor. Asal ngeliat GPS aja. Pas sampe di area danau, gue agak kebingungan parkir dan masuknya gimana. Di jalan lo gak akan nemuin palang petunjuk. Ini pun berlaku buat beberapa spot menarik lainnya. Apa karena Ternate masih sepi sama turis, jadi sepertinya emang sarana prasarananya belum dibangun dengan baik. Atau yaudah, orang-orang sana, they just live with the jaw-droppingly beautiful nature, every day and every night dan gak perlu ada komersialisasi atas itu. Dan ketika mereka ngeliat gue yang sok turis, foto-foto, mereka akan, “Bro, lo ngapain?” OMG! LOL.

Dan satu lagi, kalau di sana, jangan nanya ke anak-anak deh (soalnya banyak anak-anak yang suka main di pinggir jalan di sana) tentang spot-spot menariknya, either mereka gak tau bahasa lo, atau mereka masih kaku sama turis, apa gimana, they will just simply say they don’t know where on Earth the place you’re asking them and you will feel like, “Did I just ask where Monas, or Sency is to these kids, or what?” I bet I pronounced the name of the place right, dan bukannya Ternate ini kecil. Ini pun beberapa kali kejadian. So, better tanya ke ibu-ibu atau bapak-bapak aja.

Kayak gue nyari spot masuk ke Danau Ngade, yang sempat bikin gue nyasar, akhirnya ada bapak-bapak yang ngejar gue dengan motor (sebelumnya gue cuma dapet gelengan kepala dari anak-anak yang gue tanyain) ngasih tau jalannya ke gue. He overheard it when I asked the kids. Syukurlah! Cukup bayar Rp20K, gue dapet teh sama pemandangan ajaib dari danau, laut dan hutan di sekelilingnya, plus ngeliat elang kepala putih yang katanya cuma ada di area danau ini. Dan yang paling asik, turisnya cuman ada gue, so can you imagine the serenity? Padahal sih gue udah antisipasi kalo namanya tempat wisata, di mana-mana, biasanya rame. Karena kata bapaknya sebenernya spot yang ini tuh baru dan belum dibuka buat umum, so I guess, very lucky me.

DSCN2915
I can sit and watch this view forever.
DSCN2890
Katanya kalau ke sini pagi, kita bisa ngeliat kapal-kapal penumpang besar dari Manado lewat, sementara kalau ke sininya agak sorean, kita bisa liat sunset yang keren.

Tujuan gue selanjutnya adalah, Pantai Fitu, salah satu spot yang paling must-visit, you’ll find out why. Jarak antara Danau Ngade dan pantai ini gak jauh, kita tinggal ngikutin jalan di bawah yang keliatan dari area danau. Sebelumnya, pas masih di Jakarta sebelum pulang kampung, gue heboh sendiri nyari duit Rp1K yang ada gambar pahlawan Patimura, karena di Jakarta tuh duit udah jarang banget, bahkan udah gak ada kali. Untungnya di kampung gue masih banyak. Hahaha.

DSCN2935
Pulau Maitara dan Tidore dari Pantai Fitu. 🙂

Sepanjang jalan balik ke hotel dengan matahari yang hampir terbenam, gue sadar kalau emang Ternate ini cantik banget. I seconded what the old woman next to me said about Ternate a week ago, when we were in the bus heading home from the airport, as she, herself, just got back from Ternate. Imagine, lakes, beaches, and massive forest and mountain blending in one area not so far away from each other. Imagine, a group of equatorial-mountainous islands tempered by sea-breezes. Maybe, it was not merely the spices that the West conquered this place back then. 🙂

DSCN2947
Pemandangan orang Ternate sehari-hari. Ngeselin emang.

Hari kedua, gue ke Tolire yang jaraknya paling jauh (sekitar 19KM dari hotel) dan ke salah satu pantai yang menurut gue keren banget, Pantai Sulamadaha. Untungnya kedua spot ini lumayan berdekatan. Sama dengan spot-spot sebelumnya, pengunjungnya tuh cuman segelintir orang doang. Apa mungkin guenya yang kepagian.

Lanjut, gue ke beberapa benteng yang tersebar sepanjang jalan balik ke arah hotel buat ngeliat jejak Bangsa Portugis-Spanyol di tanah Maluku. Sayangnya, untuk tau sejarah dan ceritanya langsung, Istana Kesultanan Ternate atau Kedaton tutup. Padahal gue udah ngebayangin gue bakal diterangin sama guide gitu tentang awal masuknya Bangsa Eropa ke Maluku Utara, sepak terjang Kesultanan Empat Gunung, Kesultanan yang menurut gue paling eksotis di Timur Indonesia, sambil berkeliling ngeliat barang-barang bersejarah Kesultanan Ternate.

DSCN3003
Kombinasi sempurna. Danau Tolire, hutan lebat dan Gunung Gamalama.
DSCN3028
Sulamadaha yang airnya biru dan banyak perahu bertebaran.
DSCN3064
Pulau Hiri dari bibir pantai.
DSCN3092
Benteng Tolluca, salah satu benteng paling bersejarah di Ternate dan masih kokoh berdiri.
DSCN3139
Benteng di pinggir laut, Benteng Kalamata.
DSCN3099
Kedatonnya tutup. No luck this time.

Cerita singkat Bangsa Eropa masuk ke Kepulauan Maluku. Portugis mendarat di Kepulauan Banda dan Kepulauan Penyu nyari rempah setelah diinvasinya Malaka yang jadi pusat perdagangan rempah. Lalu ke Ternate. Hal ini disambut baik karena Kesultanan Ternate sedang berkonflik dengan Kesultanan Tidore (nyari sekutu). Kemudian Spanyol datang, muncul perjanjian Saragossa, Spanyol ditendang ke Filipina, Portugis tetap di Maluku. Portugis kemudian mengekplorasi pulau-pulau lain di sekitarnya sampe ke Nusa Tenggara untuk menyebarkan Katolik. Inggris dan Belanda datang. Perang, yadda, yadda, yadda, sampe Indonesia merdeka. Jadi,  trip gue ke Ternate ini suatu saat harusnya bisa berlanjut ke Ambon, ke Banda Neira, ke Malaka, dan lain-lain. Buat tau lebih banyak lagi soal Jalur Rempah dan terlebih, soal Indonesia. Amiiiin.

Dari sini gue semakin yakin sama visi ambisius gue. Gue semakin sadar apa gunanya traveling. And most importantly, I got to know myself even better. Gue akan selamanya menjadi orang kampung and every once in awhile I will long for quietness and serenity. Tapi, gue akan selalu bergerak maju, main dari satu tempat ke tempat lain, mempelajari hal-hal baru.

Maluku Utara, checked ✓ 

Sampai kita ke mana-mana lagi.

Cheers,

Bercerita Lebih Baik daripada Mendengarkan; dari Lampung hingga Sumatera Selatan

I couldn’t really recall kapan gue mencetuskan bahwa di umur gue yang ke-30, gue udah harus ke semua provinsi di Indonesia. But, seriously having a thought on this is so exhilarating as I want to, like everybody else, travel to as many places as possible before I die. Life is so short, right? (Yeah, I know, it’s a very ambitious of me).

Dan layaknya agama, nasionalisme menurut gue bukan hanya sekedar suatu identitas atau entitlement  yang diperoleh sejak lahir. Bernasionalisme menurut gue adalah sebuah proses yang terus lo pelajari secara terus menerus selama lo menjadi seorang warga negara suatu entitas nasional. And as an Indonesian, I couldn’t be more excited and proud to explore what this country as one of the most diverse countries in the world has to offer. Karena apalagi buat gue yang asalnya dari kampung terpencil di utara Sulawesi (daerah yang pembangunannya lambat dibanding dengan daerah di Pulau Jawa), there might be a lot of things to catch up.

I believe ketika siapa pun di antara kita memilih ber-Indonesia, maka layaknya kita tau, hafal di luar kepala, gak cuman letak geografis dan Bahasa Nasionalnya, tetapi juga keberagaman budayanya. And to experience it myself, even only for once, I think is priceless, really. The same thing goes to you if you claim yourself as the world citizen.

DSCN0755
In a ship, heading to my next province.

Kalau dihitung sampai dengan tulisan ini gue post, total udah 15 provinsi (15/34) yang gue datengin, ada yang urusan sekolah, urusan kampus, but mostly, jalan-jalan. It goes like this:

  1. Sulawesi Utara (where I was born and grew up)
  2. Sulawesi Selatan
  3. Gorontalo (where I went to high school)
  4. Jawa Timur (where I went to college)
  5. Jawa Tengah
  6. Daerah Istimewa Yogyakarta
  7. DKI Jakarta (where I work now)
  8. Jawa Barat
  9. Banten
  10. Bali
  11. Kalimantan Timur
  12. Sumatera Barat
  13. Lampung
  14. Sumatera Selatan
  15. Maluku Utara

Untuk nomor 12 sampai dengan nomor 2 bagi gue kayak terjadi begitu aja, out of nowhere, gue udah pernah aja ke sana. Ambisi ini kemudian mulai ada saat gue memulai perjalanan solo gue ke nomor 13, ke Provinsi Lampung.

DSCN0813
Jalesveva Jayamahe

Perjalanan gue tempuh dari jalur laut dari Pelabuhan Merak selama kurang lebih 2-3 jam (via Damri) ke Pelabuhan Bakauheni, Lampung. Gue sengaja pengen nyoba nyebrang Selat Sunda, dan surprisingly hari itu, Maret 2017, dimana di bulan yang sama, 3 tahun lalu gue nyebrang Selat Bali dari Ketapang ke Gilimanuk untuk pertama kalinya juga. Coincidence?

Selama waktu tempuh itu, bisa dibilang, gue nikmati. Ngeliat laut, foto-foto, jalan dari satu deck ke deck lainnya, and as usual, berkontemplasi? Hahaha. Ada satu bapak-bapak yang ngobrol sama gue entah berapa lama sebelum kapalnya bersandar di Bakauheni. Bapaknya gemuk, sekilas biasa aja kayak orang lain di dalam kapal. Lalu dia mulai bercerita tentang hidupnya dia, tentang anak-anaknya yang sukses dan kebanggaannya dia sebagai bapak. Gue langsung flashback ke adegan Robert De Niro di Everybody’s Fine yang bercerita ke seseorang di dalam kereta akan bangganya dia sama anak-anaknya. Hahah. Bapaknya abis itu ngasih kontak taksi yang gue hubungin untuk berjalan-jalan di Kota Bandar Lampung. He mentioned his name and said that, “Tell the driver that you’re one of my colleagues, so the price might be fair.” “Wah, ketemu orang baik!” Kata gue dalam hati.

DSCN0787
Banyak yang berkontemplasi juga rupanya. Hahah.
DSCN0783
Sail away, Captain!
DSCN0833
Kalau gak tahan panas di atas kapal bisa masuk ke dalamnya. Bayar tapi. Ada yang jualan pop mie dan ada jasa ngecharge HP.
DSCN0859
Sesaat sebelum tiba di Lampung. Crossing Sunda Strait, checked!

Setelah menyebrang, bus yang gue tumpangin (gue inget! Gue hampir ketinggalan bus gara-gara asik foto-foto. Hahaha.) melaju entah ke mana. Gue hanya bermodalkan GPS di HP untuk melacak posisi bus dan posisi hotel yang udah gue book jauh-jauh hari. Gue nginep di Aston, where is supposed to be gak jauh ada Novotel yang harganya cukup bersaing, yang gue rasa akan lebih bikin pengalaman gue di Bandar Lampung jauh lebih menyenangkan. Aston-nya sangat so so padahal masih baru.

Okay, let’s admit kalau gue kurang research (yang gue tau pokoknya gue nyebrang ke Lampung! Hahah.), dan yep, pas dateng ke Lampung gue pun clueless mau ke mana-mana walaupun gue punya beberapa temen asal sana di Jakarta yang bisa gue tanya-tanya (because why? They are clueless either, LOL). Kota Bandar Lampung dimana gue stay bisa dibilang gak ada apa-apa, kecuali ada Bakso Soni yang super enak itu! Wisatanya cuma pantai yang jauhnya berkilo-kilometer.

Ada satu temen gue yang stay di sana sebenernya tapi dianya sibuk kerja dan sering mobile ke luar kota. Jadi gue gak berharap banyak.

DSCN0873
Bandar Lampung dari The Edge Bar & Lounge, tempat hits di sana.

One word to describe the city of Bandar Lampung, it would be “Siger!”. Never been to a place where I can find the symbol of its people on every corner. Literally everywhere; on the walls, on the city light poles beside the street, on the locals’ fences, etc. Not to mention the monument and the tower on top of the mountain in Bakauheni. 2D, 3D, you name it! Fun fact, in Bandar Lampung, there is a rule from the government that every building must have a Siger painted/shaped on it. Mau rumah, Indomaret, hotel, cafe, pub, semua harus punya.

Lampung feminist, ya. Aceh punya Rencong, Jawa Barat punya Kujang, Kalimantan ada Mandau, simbol yang sangat maskulin. Tapi, di sini justru mahkota perempuan yang dijadiin simbol daerah.

DSCN0882
Lambang Siger di atas signage nama sebuah pub yang ada di Bandar Lampung.
DSCN1021
Bermodal motor temennya temen dan GPS I made it to the beach.
DSCN0945
Pantai Sari Ringgung. Cantik, ya. Gimana pantai di pulau-pulau sekitarnya?
DSCN0996
This view made me climb a hill. But, it’s totally worth it.

Perjalanan kemudian berlanjut ke provinsi nomor 14 via udara. Oh ya, bandara di Bandar Lampung bagus! Kalah bandara yang ada di Manado. Pesawatnya delayed beberapa jam, tapi gue tetep excited entah karena mau ke tempat baru atau dapet makan malam gratis, hahaha. Most likely dua-duanya, LOL. Ya, bisa ditebak maskapainya apa.

DSCN1030
Radin Inten II International Airport, Lampung.

Palembang, Bumi Sriwijaya, kota tertua di Indonesia. Bagaimana mungkin lo belum pernah ke kota tertua di negeri tercinta lo ini? Hehehe. Pesawat gue mendarat udah agak malem karena delay itu (sekitar jam 8an, padahal harusnya sore) dan ternyata Go-Car gak bisa masuk bandara. Gue pun clueless soal harga taksi, dsb. Untungnya gue ketemu orang baik lagi. 🙂

Orang yang duduk di samping gue di pesawat yang sebelumnya sempat ngobrol sama gue, ngenalin dua temennya pas ngambil bagasi. Mereka kayaknya sepantaran, kira-kira umur 28-30an tahun, besties, yang abis pulang liburan dari Pahawang. They asked me questions like what the hell are you doing in Palembang all by yourself, do you have any friend here, yadda, yadda, yadda. They looked so surprised actually knowing I was traveling alone. And they also warned me that some places are very dangerous for a tourist like me. “Oh, okay!” Batin gue. Tapi, semua itu berakhir dengan tumpangan gratis. Yay! Salah satu dari mereka (not the one who sat with me in the plane) yang dijemput sama keluarganya. Ada nyokapnya, bokapnya, kakaknya, sama keponakannya, lengkap! Kebetulan akan melewati tujuan gue. Dalam perjalanan, gue ngedenger mereka ngebahas kayak kasus kriminal yang menimpa keluarga mereka, of course dalam Bahasa Palembang, but some words were familiar and I did understand their topic. Menambah suasana mencekam malam itu. All right, easy, Palembang.

Well, kurang lebih sama dengan di Lampung, tujuan gue ya, yang penting ke Sumatera Selatan. LOL. Karena gue cuma akan stay semalam, besok malemnya gue udah balik ke Jakarta, pokoknya pas nyampe ini gue harus ngeliat jembatan Ampera di malam hari. Gue pun diturunin di Benteng Kuto Besak, I said I would like to have my dinner right beside the Musir river overlooking the iconic Ampera bridge. The family then suggested me to try River Side Restaurant. And, baby, it was pretty amazing, I could tell.

DSCN1057
Welcome to Palembang! The 14th!
DSCN1069
I ordered Pindang Daging, and it was super delicious!

Kali ini gue nginep di Sintesa Peninsula. OMG, what happened to me, hotelnya lagi-lagi failed. Sintesa tuh posisinya kurang berada di pusat kota dan hotelnya tuh hotel lama that I found stains on their blanket. The foods were awful. So not recommended. Tapi, untung gue cuma pake hotelnya buat tidur malem, paginya, after the not so good breakfast, gue langsung checkout, order Go-Ride dan jalan-jalan.

Tujuan pertama gue di hari itu adalah Pulau Kemaro. Kalau di Verona ada Romeo dan Juliet, di Jawa Tengah ada Roro Jonggrang dan Bandung Bondowoso, di Palembang? Ada Siti Fatimah dan Tan Bun An. Pulau Kemaro ini sebuah delta di tengah Sungai Musi yang menyimpan cerita soal Fatimah dan Tan Bun An ini. I always find myths and tales in every place intriguing. 🙂

Ke sananya harus nyebrang whether dengan perahu ketek (as they said) yang super pelan atau speed boat, dan sebaiknya berkelompok. Kalau sendirian harus pinter-pinter nawar. Thank God, sepagi itu ada sekumpulan orang lain juga yang mau ke sana naik speed boat. Gue lupa yang gue bayar berapa tapi karena jadinya gak cuma gue sendiri yang nyebrang, harganya jadi turun. Karena bapaknya juga akan nungguin kita dan nganterin nyebrang balik ke Kota. Naik speed boat nyebrang musi was really fun tho!

DSCN1089
Turned out it was really fun, riding a boat crossing Musi!
DSCN1102
Pagoda yang akan langsung keliatan sesampainya di Pulau Kemaro.
DSCN1111
Pemandangan dari atas Pagoda.

Sebenernya, bisa masuk dan menaiki pagoda itu gak bisa sembarang orang. Apa karena ada syaratnya atau keseringan dikunci sama penjaganya apa gimana, entahlah. Cuma berhubung orang-orang yang bareng gue itu mostly Chinese dan orang lokal (they were touring their colleague from Jakarta around), dan merekanya emang pengen naik ke Pagoda. I dunno what the deal was, pokoknya kita dibolehin masuk dan naik aja. Walaupun pastinya kita harus ngasih tip ke penjaganya sih, yang sempat berakhir drama hampir mau berantem karena penjaganya merasa tip-nya kurang. What the… Overall, lucky me!

Setelah balik ke Kota, I did some museum hopping. Dimulai dari Museum Sultan Mahmud Badaruddin II yang masih sekomplek dengan Benteng Kuto Besak, resto semalem where I had my dinner and the boat port. Terus gue lanjut ke Museum Balaputradewa yang banyak menyimpan cerita soal Kerajaan Sriwijaya. Di museum ini ada Rumah Limas atau Rumah Bari yang ada di duit sepuluh ribu Rupiah. Ke sananya emang cukup jauh, tapi untungnya ada bapak-bapak Go-Ride yang kemudian menawarkan diri buat nemenin gue ke mana-mana sampe nanti nganter ke bandara dengan bayaran makan siang dan Rp150K. Again, I met kindhearted people. 🙂

DSCN1135
Famous, infamous.
DSCN1139
Di dalam Rumah Limas ada kamar pengantin orang Palembang yang unik. Katanya semakin banyak bantalnya, semakin tinggi derajat pengantinnya.

Sungai Musi membelah Kota Palembang jadi dua bagian; Ilir yang menjadi pusat kota dan pemukiman, dan Ulu yang menjadi pusat kota baru. Bapak Go-Ride-nya, gue lupa namanya, setia nganterin gue ke satu tempat ke tempat lain, hilir mudik ke kedua bagian ini buat menuhin ke-BM-an gue. Semoga bapak sehat-sehat selalu!

DSCN1164
Culinary tour! Makan Pempek langsung di Palembang.
DSCN1128
The famous Pempek Panggang.
DSCN1122
Mie Celor HM. Syafei yang pastinya akan direkomendasikan orang Palembang.
DSCN1147
Satu spot lagi sebelum pulang; Al-Qur’an Raksasa yang ke sananya (kalau motoran) super capek, penuh debu. But, it’s quite unique. Kalau gak rame harusnya bisa dapet foto yang Instagrammable.
DSCN1170
Heading back to Jakarta dan first timer mendarat di HLP.

I can tell it’s funny how the locals that I met during my solo trip were so skeptical knowing I was traveling on my own and wanting to see as many places as I could. While I was just being naive and hopeful that things would go my way. It’s not that I wasn’t being careful. It’s just this logical notion for everyone who travels; you temporarily left your life somewhere for the sake of experiencing something you wish would be exactly in contrast somewhere else. So, you think you have to make the best of it. Thank God, the universe conspired to help me through. I met a bunch of kindhearted people and things went exactly my way. Perhaps it was also because the positive energy that I brought with me in the first place.

Solo trip isn’t so bad, huh? It leaves you no choice but to be so optimistic about people, makes you be more open-minded and less judgmental, and most importantly makes you be able to see the beauty in everything.

And for me, to experience something, like my Indonesia-nism, to see and to learn it by myself, then to be able to explain and tell stories out of it, is always, always better than to just sit and listen it from others, as we did during schools with History and PPKn. 🙂

As an Asian Proverb says,

“Better to see something once than to hear about it a thousand times.”

Lampung, checked✓

Sumatera Selatan, checked✓ 

Sampai kita ke mana-mana lagi. 🙂

Cheers,

Benarkah Jogja Istimewa? Arti sebuah Perjalanan

Hey, akhirnya gue mutusin buat bikin travel blog! Hahaha. Salah satu yang mengilhami gue adalah percakapan gue dengan seorang turis asing asal Belanda, Edith, a total stranger yang duduk pas di samping gue di kereta api Taksaka dari Gambir, Jakarta menuju Tugu, Yogyakarta, awal Agustus lalu.

b
Stasiun Gambir pagi itu. Beberapa saat sebelum bertemu Edith.

Trip gue ke Jogja saat itu udah entah yang ke berapa kali. It was an attempt to escape the hustle and bustle of Jakarta, the harsh reality in many aspects of my life. Dan seperti biasanya kalau masih di Pulau Jawa, gue akan memilih naik kereta api eksekutif untuk berkontemplasi, menikmati perjalanan darat panjang sambil mendengarkan playlist gue dan sesekali membaca buku. Gue suka perjalanan panjang dengan pemandangan dan ketenangan. Tapi, berbeda kala itu, senyuman ramah nan lugu a la turis yang mengembang di pipi seorang wanita Belanda yang ternyata duduk di sebelah gue membuka obrolan-obrolan menarik dan membuat perjalanan itu menjadi tak terkira. Mau ga mau, gue menyimpan headset gue.

DSCN2357
In the middle of nowhere.

Awalnya gue ngira dia berkelompok, melihat banyak turis asing juga yang duduk segerbong. Ternyata dia sendirian. Datang ke Jogja setelah sebelumnya mengunjungi temen lamanya di Jakarta. Dari percakapan kita, she told me that she’s been traveling alone, visiting many countries, many interesting places on her own, and in Indonesia, she intended to see many. Setelah dari Jogja, dia pengen ke Banyuwangi, ke Tanjung Pinang, ke Bali, ke Komodo. We talked a lot of things selama perjalanan itu; tentang pekerjaan, tentang buku bahkan tentang mantan, LOL. Sampai akhirnya kita tiba di Stasiun Tugu dan tersadar kalau kita nge-book hotel yang sama. Karena dia menjadi temen ngobrol yang cukup asik selama perjalanan, I treated her an Uber trip to our hotel. Gue sama dia pun berpisah setelah sebelumnya kita saling follow di Instagram, berbagi nomor HP dan dianya drama dengan e-reader hadiah orang terdekatnya yang sepertinya ketinggalan di kereta. Poor, Edith.

DSCN2503
Adhisthana Hotel. Hotel berkonsep mixture antara Jawa, Cina dan Eropa yang lagi hits di Jogja.

Hari kedua di Jogja gue pindah hotel ke Greenhost Boutique Hotel Prawirotaman. Yep, I like somehow to pamper myself with the comfort of a hotel. Harga hotel ini agak lebih mahal dari yang sebelumnya, tapi hotel ini membawa kesan yang jauh lebih homey dan spacious. Makanannya pun lebih enak. Di Adhisthana menurut gue yang berkesan banget, selain interiornya adalah welcome drink-nya yang super enak (gue sampe minta berkali-kali, haha) dan kalau on a budget, Adhisthana punya pilihan dorm yang cuma Rp138K plus breakfast, plus jika beruntung, obrolan-obrolan asik dengan sesama penghuni. Masalah keramahan petugas hotel (or in general, the Jogja people themselves) gak usah ditanya. Itu juga mungkin salah satunya yang bikin Jogja istimewa. Apa iya?

DSCN2453
Hotel kedua di Jogja. Pas masuk, rasanya pengen langsung berenang.

Sebetulnya ada satu tujuan yang buat gue pengen ke Jogja lagi saat itu dan menyegerakannya. Gue pengen dateng ke Ullen Sentalu! Sebelumnya di Jakarta, beberapa bulan terakhir, gue sering doing gallery/museum hopping. Mulai dari Galeri Nasional, Museum Gajah, Art1, sampe yang kecil-kecil namun dramatis yang ada di daerah Kemang. Kemang sesempit dan se-Kuta itu ternyata nyimpen banyak galeri seni/museum yang bagus-bagus. Terakhir gue ke Museum di Tengah Kebun! Mungkin, khusus untuk gallery/museum hopping (khususnya yang di Jakarta) akan gue bahas di tulisan yang berbeda. Nah, Ullen Sentalu ini, like everyone said is one of the best museums in Indonesia, dan gue sebelumnya gak tau! So, I booked a ticket to Jogja (dan momennya yang juga lagi pas, ya) and set out myself. Yep, gue suka se-spontaneous itu.

Jadi lah gue me-list tempat mana aja yang mau gue datengin selain Ullen Sentalu. But then, setelah diliat-liat ternyata medannya agak susah kalau gue cuma mengandalkan transportasi online. Untungnya ada sodara-sodara satu almamater SMA dan kuliah gue di sana yang punya kendaraan pribadi yang mau nemenin gue selama kurang lebih 3 hari 2 malam di Jogja. I was so lucky!

Ullen Sentalu emang keren banget sih, dari bangunannya yang megah berarsitekturkan Jawa dan sangat terawat. Dan di dalam kita gak diijinin buat foto-foto, katanya biar fokus ngedengerin guide-nya bercerita sepanjang tour. “Oh, yay!” Gue paling seneng museum yang ada guide-nya (yang knowledgeable tentunya) karena bisa tau cerita-cerita menarik yang mungkin gue gak tau sebelumnya. The tour itself takes around 50 minutes. Setiap spot diceritain, dan gue jadi banyak tau tentang Mataram Islam, tentang Kesultanan Jogja dan Kesultanan Solo, yang menurut gue mindblowing. Tineke room is my favourite! Tineke seorang Putri yang patah hati karena kisah cintanya gak direstuin keluarga kerajaan. In that room, you’ll read many letters that are either heartwarming or heartbreaking handwritten by Tineke’s family members to encourage her to move on.

Yang gak kalah menarik kisah tentang Gusti Nurul which is also my favorite. Beda dengan si Putri Tineke, justru Gusti Nurul yang jadi badass-nya, hehe. Selain karena cantik, Gusti Nurul juga pinter dan jago nari bikin orang-orang berkuasa jaman dulu yang mostly udah beristri pengen nikahin dia. Termasuk kala itu Presiden Soekarno. Tapi, Gusti Nurul gak mau dipoligami. Guide-nya pinter ngejelasin sih, tapi saking pinternya malah kecepetan, dan kesannya tournya kayak ngejar setoran. Trus, udah selesai aja tour-nya, like I didn’t buy kalau itu 50 menit. Apa saking bagus dan menarik tour-nya?

IMG_1089
Bentuk respect terhadap arca miring Ullen Sentalu yang dibangun sebagai bentuk protes ini.

Ada satu malam di Jogja yang gue pake buat nonton pertunjukan seni. Di bayangan gue sih, gue maunya nonton Ramayana Ballet di Prambanan. Tapi, karena satu dan lain hal dan pertolongan internet, I ended up watching an art show at Festival Kesenian Yogyakarta, sebuah perhelatan seni dari dan untuk masyarakat Jogja yang udah digelar sebanyak 29 kali. Murah meriah, and the best part I blended in with the locals. Not bad, not bad at all.

DSCN2385
Tari Angkrek yang terinspirasi dari permainan anak-anak.
DSCN2371
Blending in with the locals. Jadi orang Jogja semalam.

Jujur sih, Jogja bukan tujuan favorit gue. I could barely articulate the tagline “Jogja Istimewa” like my friends did. Gue lebih seneng Bali atau ke tempat mana pun yang belum pernah gue datengin. Apa mungkin karena gue udah lama tinggal di Jawa? So, Jogja is just another city in Java for me. Tapi, ada yang beda saat itu. Gue mungkin dulu ke Jogja atau ke suatu kota, ya sekedar main aja. But then, as you grow older, you’ll see things differently. You’ll learn, you’ll seek not only interesting things, but also things that enlighten you in every journey you have.

Jogja emang istimewa dari misteri yang disimpan candi-candinya, dari sejarah Kesultanannya, dari keramahan orang-orangnya, dari kreativitas anak mudanya, and so on. Moreover Jogja is special because you are being open-minded and you believe that your trip to Jogja itself would be special.

IMG_2127
Ratu Boko, checked!
IMG_1101
Udah kayak di UK belum? Stonehenge versi Merapi. LOL!
IMG_2128
Of course kuliner-an. Ini Waroeng Kopi Klothok. Telur dadarnya terbaik! Murah! Katanya owner-nya punya Panti Asuhan gitu. No wonder selalu rame.
DSCN2590
Strolling around.
DSCN2608
First timer ke Taman Sari. Ah, mau dong jadi raja di sini jaman dulu! LOL.
DSCN2687
Jangan lupa ke Tempo Gelato!
DSCN2701
Tempat ngopi yang lagi happening. Filosofi Kopi (versi desa). Jauh lebih luas dari yang di Jakarta.
DSCN2693
The last sunset.

Lantas, kenapa bertemu dengan orang seperti Edith mengilhami gue buat memulai blog ini? Karena gue sadar, there would be small nice things about life I might encountered during my travelings that I couldn’t easily share to someone, or simply post on social media. There would be things that can’t be captured by camera. I just need to immortalize them by writing them down here. Hal yang sama seperti traktiran makan siang teman baru di perjalanan solo gue di Lampung, obrolan di pesawat menuju Palembang (lagi-lagi dengan total stranger) yang berakhir tumpangan gratis dari bandara ke Kuto Besak, dll.

Justru hal-hal kecil itu, at some point, mengajarkan lo sesuatu, enlightened you, and awakened you as they left a warm impression inside your heart. Gue yang mungkin tadinya bodoh amat sama orang di samping gue kalau gue lagi melakukan perjalanan darat sendiri, jadi mau memulai obrolan bahkan jadi excited untuk tanya-tanya (siapa tau dapet tumpangan, ya kan? Haha), deg-degan, what sort of surprises await ahead of me. Karena at the end of the day, sebuah perjalanan itu berbagi dan untuk lo bagi.

Terima kasih, Jogja!

Sampai kita ke mana-mana lagi. 🙂

Cheers,